Rabu, 08 Agustus 2007

EKAYASA SOSIAL DALAM MENGEMBANGKAN WISAA SOSIAL BUDAYA

Sudah saatnya masyarakat terlibat langsung dalam proses pembangunan dalam menatap masa depan. Paradigma lama menyebutkan dalam proses pembangunan selalu memposisikan masyarakat sebagai objek pembangunan bukan sebagai pelaku pembangunan, padahal masyarakatlah yang menjadi pemilik dan pengelola pembangunan di daerah masing-masing untuk mewujudkan pembangunan nasional yang kuat dan mapan.

Defisini pembangunan Wisata budaya menurut Suranti (2005;4) yaitu wisata sebagai proses dan wisata sebagai produk. Wisata sebagai proses yaitu proses pertukaran ide, yang memberikan sumbangan bagi tumbuhnya ide-ide kreatif. Hal ini mudah dipahami karena kreatifitas biasanya tumbuh karena munculnya pikiran-pikiran alternatif yang umumnya datang dari luar. Dalam arti kedua, wisata budaya sebagai produk yaitu atraksi-atraksi wisata yang ditawarkan bagi wisatawan, khususnya jenis wisata yang memuat informasi atau mengandung pesan-pesan yang mengandung budaya. Atraksi-atraksi wisata ini berupa peninggalan-peninggalan sejarah, pertunjukan kesenian, ritual keagamaan, pertunjukan ketrampilan dan lain-lain.

Namun cara pandang di atas tampaknya belum diimplementasikan setiap daerah yang memiliki potensi wisata sosial budaya yang beragam. Hal ini dapat dilihat pada era orde baru sektor pariwisata lebih di orientasikan pada kawasan Indonesia bagian barat mengikuti alur pembanguan sarana dan prasarana di kawasan barat Indonesia dibandingkan dengan yang terdapat dikawasan timur Indonesia. Konsentrasi utama sektor pariwisata di era Orde baru lebih fokus pada wisata kawasan Bali. Sehingga hal itu mengakibatkan potensi di setiap daerah seakan tenggelam, padahal memiliki potensi wisata sosial budaya yang kaya dan beragam akan pesan-pesan budaya untuk penuntun hidup di hari depan. Dampak dari model pengembangan di atas yaitu keterbatasan model pengembangan wisata sosial budaya di bidang material dan nonmaterial. Keterbatasan di bidang material di antaranya dapat dilihat minimnya sarana dan prasarana wisata sosial budaya, rusaknya situs dan berbagai artefak atau hasil budaya lainnya. Hal senada juga demikian terjadi pada bidang non-material, dimana keterbatasan dalam pengembangan wisata sosial budaya di tingkat pemikiran dan kesadaran para pemilik budaya semakin terpuruk. Hal ini kemudian menyebabkan mobilitas angkatan kerja usia muda berduyun-duyun mencari kerja di perkotaan yang kemudian berimbas pada permasalahan sosial dan ekonomi diantaranya pengangguran, pencurian dan penyakit sosial lainnya. Padahal di tempat kelahiran dari pemburu kerja tersebut masih banyak potensi daerahnya yang dapat dibanggakan. Hal ini dikarenakan masyarakat minim akan dilibatkannya dalam mengembangkan wisata sosial budaya di bidang nonmaterial.

Prospek wisata budaya dalam era global semakin cerah. Hal ini dapat dilihat adanya kecenderungan global kepariwisataan, dimana wisata sosial budaya kedepan akan menjadi pilihan para wisman dan menjadi daya tarik yang handal dalam mengembangkan potensi dimasing-masing daerah (Nirwandar, 2006;1). Secara umum Nirwandar (2006;9) menguraikan akan kekuatan, kelemahan dan peluang pembangunan kepariwisataan Indonesia. Kekuatan wisata sosial budaya Indonesia diantanya; kaya akan pernak-pernik budaya, kaya akan daya tarik alamnya, keragaman aktifitas wisata, lokasi wisata bahari terabaik di dunia, kaya akan jenis dan ragam kuliner dan kemajmukan akan kehidupan masyarakatnya. Namun di sisi lain wisata sosial budaya Indonesia juga memiliki banyak kelemahan diantaranya; pengemasan daya tarik wisata, terbatasnya diversifikasi produk, lemahnya pariwisata destinasi pariwisata, kualitas pelayanan wisata, disparitas pembangunan kawasan pariwisata, interpretasi-promosi dan komunikasi pemasaran, kualitas sumber daya manusia dan kondisi keamanan. Hal senada juga diungkapkan oleh Nirwanda, bahwa setiap daerah telah memiliki peluang dalam pengembangan wisata sosial budaya, yaitu dengan keramahtamahan penduduk, kemajmukan masyarakat dan jumlah penduduk yang dapat berperan serta dalam kepariwisataan. Peluang di atas sampai sekarang tampaknya masih menjadi pusat perhatian, karena peluang yang ada masih menjadi kendala dalam mengembangkan wisata sosial budaya di tiap-tiap daerah dalam era otonomi daerah.

Selaras dengan Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional tahun 2005-2009, sektor kepariwisataan telah diarahkan sebagai penopang ekonomi Indonesia ke depan. Hal senada juga dilakukan oleh Pemerintah Proponsi Jawa Tengah, dimana sektor kepariwisataan merupakan sektor penting dalam membangun Jawa Tengah kedepan. Berdasarkan latar belakang di atas, perlu-kiranya diciptakan model keterlibatan masyarakat secara utuh dalam mengembangkan wisata sosial budaya sebagai aset proses dan produk dalam era otonomi daerah yang telah berjalan selama ini. Dalam model yang ditawarkan oleh Nirwandar (2006) tentang pembangunan sektor pariwisata di era otonomi daerah perlu dicermati. Dalam konsepnya menawarkan paradigma baru dalam pembangunan kepariwisataan dimana kepariwisataan daerah diusung dalam tujuh pilar yaitu; pariwisata sebagai persatuan dan kesatuan bangsa, penghapusan kemiskinan, pembangunan berkesinambungan, pelestarian budaya, pemenuhan kebutuhan hidup dan hak azasi manusia, peningkatan ekonomi industri, dan pengembangan tekonologi.

Propinsi Jawa Tengah kaya akan wisata alam, wisata bahari, wisata bangunan bersejarah, dan wisata sosial budaya. Tercatat wisata sosial budaya Propinsi Jawa Tengah terdapat lima jenis wisata sosial budaya yaitu suku Jawa, Bagelan, Banyumas, Negarigung dan suku Samin (Melalatoa, 1995;79). Dari lima keragaman sosial di atas telah dipercayai memiliki keragaman budaya sebagai aset wisata budaya mulai dari bahasa, adat istiadat, sistem sosial, ritual, sistem pendidikan, artefak, ragam seni, dan unsur budaya lainnya. Dengan keragaman sosial dan budaya di atas dapat dijadikan objek unggulan wisata daerah Propinsi Jawa Tengah. Namun kendala wisata di Propinsi Jawa Tengah masih terbelit dalam hal peran serta masyarakat di bidang wisata sosial budaya masing-masing.

Berdasarkan latar belakang di atas perlu diciptakan model pengembangan potensi wisata sosial budaya Propinsi Jawa Tengah. Model yang akan ditawarkan adalah dengan VCD film dokumenter wisata budaya. VCD film dokumenter inilah yang nantinya sebagai rekayasa sosial dalam mengembangkan wisata budaya Propinsi Jawa Tengah

VCD film dokumenter wisata sosial budaya merupakan salah satu produk yang dapat dijadikan media atau jembatan antara Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Propinsi Jawa Tengah dengan masyarakat pemilik wisata budaya. Dengan menghadirkan produk wisata sosial budaya di dalam masyarakat pemilik budaya yang bersangkutan, masyarakat akan lebih aktif dalam mengembangkan wisata budayanya. Dengan model tersebut maka diharapkan akan menjadi media pelopor paradigma partisipatif dalam mengembangkan wisata budaya Propinsi Jawa Tengah, di mana masyarakat bukan hanya sebagai penyedia, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pemilik, pengelola dan pengembang wisata sosial budaya untuk menuju wisata sosial budaya Propinsi Jawa Tengah dalam konteks kepariwisataan global.


Tidak ada komentar: