Rabu, 08 Agustus 2007

Sekaran dan Semangat Agustusan

Tempo dulu sekaran (tema ini dihubungkan dengan semangat 17 agustusan)


Surat gubernur kepala darrah tingkat satu Jawa Tengah pak parjo mencari lokasi sekaran untuk kampus sekaran. Saya setuju, tapi banyak warga yang menolak. Karena untuk kepentingan nasional yaitu pendidikan digunakan bersama. Mengundang sembilan orang saja , sebelah kiri kanan benokok itu tanah sanggem. Banyak yang tidak setuju dengan marah-marah. Dulu terjadi persaingan partai antara PPP dan golkar, saya dulu orang golkar dan orang PPP tidak setuju. Namun warganya banyak yang seder dan setuju tanah untuk IKIP.


Tahun 1988-1989 ikip pindah ke kelud. Dengan semester 3 dan empat. Dulu siswa dari SD-SMP dan SMA di tatar P4. Mahasiswa masih sopan. Dulu jam 10 harus tutup pintu. Rekor pertama pak heri wulyono, retmono, rasdi, at soegito. Saya sering dipanggil oarang –orang di atas. Sekarang lurah dengan rakyat saja tidak pernah ketemu. Lurah dari kota semarang. Dulu pak RT tidak sregep, tapi sekarang yang sregep adalah pak RT nya. Dulu lurah 22.300 rupiah samapi 26.000 termasuk warga. Bengkok sebagai sebagai pancingan dan kemudian di jual bengkoknya lalu di bankan dan bunganya untuk lurah. Tapi akhirnya kembali ke pemerintah. Harga tanah pada saat itu 1600-1750 2000 harga tanah. Calok tanah itu pejabat semua.


30 tahun saya menjadi lurah. Saya pernah dagang jakarta, di datangi pemuda untuk mencalonkan diri menjadi lurah. 1974-1981. saya diagkat menjadi pegawai negeri. Saya tokoh golkar. Sehingg pda saaat itu saya juga pakai uang saat calon. Sekaran pada saat dulu lebih bersih. Yaitu mendapatkan properti empat. Nek wani ora usah wedi-wedi yang wedi ora usah wani-wani. Tidak ada yang njemur celaan di depan. Pagar hidup saat itu diutamakan. Camat dan desa sering menggerakkan kerja bakti.


Lurah ini merupakan tokoh kunci pembebasan tanah sekaran ke pemerintah. Banyak pegawai agrario pusat yang kenal beliau. saya terpilih pertama dua kali. Namun kemudian banyak angkatan yang ingin menjadi lurah. Lurah ini merupakan turunan yang ke 12. mah buyut dan mbah kulo menjadi luarah. Mabh, sesan haryadi, di sodok sesrsan sugeng, kroyokan pangan , kemudian pak patmo (pegawai pemda), dan sekarang pak Sodri. Lurah saat ini hanya sebagai objek orang atas. Kadang-kadang hanya mencari kesalahan Lurah saja. Sugeng sugih bondho dunya, tanah trangkil kanan kiri di unangkan olehnya dan sekarang tidak di bangun-bangun. Saat itu presidennya megawati, carik muntari banyak korupsi dengan lurah sugeng.


Saya sering dijadikan sesepuh untuk membangun langgar dan masjid. Sampai sekarang.


Mahasiswa dulu an sekarang lain. nilai-nilai P4 tidak dihubungkan dengan calon pendidik (mahasiswa unnes). Depan itu penjajah, disitu bebas kebebasen. Sering saya masuk kos-di depan. Tap kadang tidak pakai sopan tertip. Diri sendiri, orang tua dan unnes tidak pernah di jaga kebaikannya. Sekarang sering cium-ciuman-rangkul-rangkulan pada siang hari.


Semarang, 03 September 2006

Informan: Pak Mantan (sudah Meninggal)

Konflik Struktural Sampai Konflik Etnis?

Kota mati, itulah sebutan kawasan kota Solo, kota yang saat ini merangkak untuk meneguhkan dirinya menjadi kota budaya, pada saat terjadinya kerusuhan tahun 1998. Kenapa tidak, karena pada saat itu kawasan kota Solo sebagai gudang asap yang bersumber dari pembakaran bangunan dan gedung ekonomi baik milik pengusaha dari keluarga dekat pemerintah orde baru dan milik etnis tiong hoa. Kemarahan masal yang tunjukkan dengan pembakaran gedung pencakar langit itu sudah jauh hari dilatarbelakangi oleh kelaparan perut rakyat yang sulit mendapatkan sembako dengan harga selangit. Jelas, keadaan tersebut mudah menyulut kemarahan masal yang kemudian diwujudkan dengan kesepakatan bersama untuk melakukan mobilitas sosial dengan dalih medapatkan keadilan ekonomi di masa depan. Jauh hari tanda-tanda krisis ekonomi akan melanda Indonesia termasuk negara-negara di kawasan asia. Banyak yang mengiyakan bahwa yang menyebabkan itu adalah krisis moneter dengan hadirnya program pembangunan ekonomi pada negara underdevolepment. Namun program pembangunan dengan pendekatan pinjaman utang yang domotori oleh IMF gagal total, karena negara dalam hal ini adalah struktural tidak mampu membaca skenario ekonomi global. Lebih parahnya para struktural negara ordebaru seakan lempar batu sembunyi tangan karena seringnya dimanjakan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme yang membabi buta, namun di sisi lain, mereka tetap berani dan melakukan sistem politik status quo, untuk memperkaya diri. Lagi-lagi yang kena batunya adalah masyarakat kecil, dengan sulitnya mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal isi perut. Sebagai kaum inteletual yang memiliki kepekaan akan tanggung jawab sosial, dari mulut mahasiswalah, suara rakyat disampaikan kepada pemerintah. Namun tanggapan yang ditampilkan dengan aksi turun ke jalan semakin besar mendapatkan simpati kepada masyarakat luas. Aksi untuk menuntut sebuah perubahan yang fundamental dalam menatap Indonesia ke depan tidak lagi menjadi aksi bersih dari kerusuhan. Apalagi paradigma pemerintah yang semakin mencongolkan diri dalam mempertahankan staus quo, aparat polisilah yang dihadapkan dilapangan untuk menghadap gerakan aksi turun kejalan. Dengan dalih penyelamatan negara dengan mewujudkan stabilitas keamanan nasional, polisi dan militer semakin militan. Namun lebih parah lagi, hadirnya kepentingan dari berbagai golongan masuk dalam gerakan yang disebut reformasi 1998. Dengan hadirnya kepentiang politik dan ekonomi itu, dinamika aksi untuk menyalematkan bangsa Indonesia semakin kabur dan beragam. Bahkan tidak jarang di temui, di sinyalir terdapat pihak yang memprovokasi karena dilandasi untuk mendapatkan kepentingan politik dan ekonomi pasca gerakan reformasi. Pada saat itulah, bangsa Indonesia lagi-lagi merayakan kemiskinan dan kemelaratannya dengan mengibarkan semangat kerusuhan yang ditampilkan dengan merusak dan membakar fasilitas pemerintah dan pengusaha serta golongan minoritas, yang dianggap menjadi musuh bersama. Disilinah awal mula terjadinya konflik struktural yang kemudian menyeret ke konflik etnis.


Hadirnya militer bukan suatu yang baru dala kancah dinamika politik dan mobilitas sosial di Indonesia. Wajah militer yang hadir seakan sebagai malaikat penyelamat yang akrab disapa sebagai tindakan darurat untuk menyelamatkan keutuhan negara. Tampilnya militer termasuk polisi dalam mengawal peristiwa reformasi yang berlangsung di kota Solo seperti halnya dengan keajekan tampilnya peristiwa-peristiwa besar sebelumnya, yaitu dengan dalih gagalnya pemerintah sipil dalam mengantar rakyat Indonesia menjadi bangsa yang makmur, gemah ripah loh jinawe. Padahal mau di akui atau tidak, militer memiliki kepentingan kuat dalam hal mengambil posisi penting di panggung politik skala nasional. Dengan watak di atas itulah, kapanpun dan dimanapun militer dan polisi selalu sendiko dawuh untuk menjadi backing pemerintah saat rezimnya terancam. Gerakan reformasi di tingkat nasional, termasuk di kota Solo, militer dan polisi terlibat aktif dilapangan. Sehingga pemandangan mahasiswa bentrok dengan polisi bukan menjadi pemandangan tabu lagi. Namun tampilnya polisi dan militer pada gerakan reformasi di kota Solo seteah terjadinya kerusuhan. Sehingga keadaan ini menimbulkan pertanyaan besar, skenario politik apa yang di jalankan, apakah dengan menanti terjadi kerusuhan yang maha dahsyad itu, semakin memberikan legitimasi kepada militer untuk melakukan berbagai macam tindakan, termasuk penembakan kepada warga sipil dan mahasiswa.


Kerusakan bangunan pemerintahan dan milik pejabat tinggi negara



Jargon pribumi dan non-pribumi sebegai deferensiasi sosial pada kerusuhan di kota Solo 1998 teras kental, sekental madu. Masih hangat ingatan kita kerusuhan masa seakan terfokus pada bangunan yang menyimbolkan kemegahan etnis tiong Hoa di saat rakyat Indonesia mengalami busung lapar yang membara. Seakan pula kita masih enggan mempertanyakan komitmen kebangsaan pengusaha etnis Tiong Hoa kepada bangsa Indonesia. Ketika kita melihat dibakar dan diruntuhkannya bahkan dijarahnya isi toko yang dimilikinya. Pertanyaan di atas memang menyakitkan di saat pemerintah kita telah mengeluarkan PP no 23 tahun 2006 akan kewarganegaraan orang Tiong Hoa yang telah selesai dan di akui dengah penuh akan status warga negara Indonesia, tetapi mengapa stereotip pada masayarakat pribumi, khususnya di hadapan orang Jawa, yang tak ubahnya menaruh dendam kesumat terhadapnya. Padahal kalau melirik sejarah sebelumnya, bahwa hadirnya orang Tiong Hoa di Indonesia telah berhasil berinteraksi secara arif, bahkan amalgamasi bukan hal yang tabu lagi. Namun dengan hadirnya bangsa belanda menjadi penjajah Indonesia, ketrampilan dan kemampuan orang Tiong Hoa dimanfaatkan belanda dengan memposisikannya menjadi penarik pajak sebagai sumber pendapat kelonial Belanda. Tiong Hoa telah masuk dalam skenario politik dan ekonomi kolonial Belanda, namun orang Tiong Hoa terbukti senang menapatkan posisi tersebut, karena pas dengan keahlian dalam ekonominya. Namun dualisme sistem ekonomi yang dijalankan oleh kolnial belanda pada kelanjutannya melahirkan masalah yang panjang, dimana etnis Tiong Hoa di mata pribumi di pandang sebagai penjajah yang selalu bereka daya untuk menumpuk harta, mungkin ini skenario politik belanda dalam membangun image yang cantik pasca meninggalkan kawasan nusantara, dimana Tiong Hoa- lah yang menjadi sasaran amukan masa, lihat saja setiap ada kerusuhan, dapat dipastikan Tiong Hoa menjadi sasarannya. Namun tampaknya skenario politik ekonomi juga di jiplak pada saat pemerintahan orde baru duduk di singgasana. Lagi-lagi etnis ting Hoa diposisikan lebih dengan pengusaha pribumi. Dengan alasan pengusaha pribumi tidak dapat di percaya dan tidak dapat menjaga rahasia pemerintah, pengusaha Tiong Hoa – lah yang kemudian menjadi anak emas orde baru di bidang perdagangan. Lihat saja tender besar dari teknologi sampai sembako yaitu menjadi pemasok besar, orang Tiong Hoa – lah yang selalu tampil di depan. Sehingga wajar kalau ting hoa semakin hari semakin kaya karena dekat dengan penguasa yang siap melahirkan kebijakan eokonomi, dan orang Tiong Hoa lebih dulu melihat dan mengetahuinya. Memang orang Tioang Hoa seakan menjadi sapi perah orde baru, namun lai-lagi Tiong Hoa juga asyik menikmati hasil dari usaha tersebut. Sehingga pada saat rakyat mengalami kelaparan dan kehausan yang dahsyad, kelompok yang dikenal minoritas inilah yang menjadi sasaran kembali. Seakan kelompok ini pula menjadi tameng kegagalan dalam memerintah suatu rezim, dengan cara menggiring pemikiran masyarakat, bahwa kolompok itulah yang harus bertanggung jawab. Dan ini terbukti dengan tumpahnya kemarahan masa di Kota Solo pada tahun 1998, bangunan rumah dan pertokoan serta simbol-simbol yang berbau ke- Ting Hoa -an, dibabat habis dengan meruntuhkan dan membakarnya tanpa sisa. Termasuk jenis bangunan hotel, restoran besar, bisnis otomotif juga remuk dan porak poranda. Dari peristiwa kerusuhan di Solo 1998, solopos melaporkan, kerugian negara mencapai 457, 5 milyar lebih mulai dari kerugian akibat perusakan dan pembakaran plasa supermarket sampai pemukiman dan fasilitas publik lainnya.


Sebuah bangunan negara yang tidak dilandasi dengan bangunan budaya yang dibingkai dengan sistem yang kuat, maka jangan harap suatu negara itu memiliki kemerdekaan yang sebenarnya. Sebuah sistem yang kuat dapat dilihat dengan dihadirkannya suatu bangunan struktur yang memihak keadilan dan kemakmuran rakyat. Sehingga struktur apapun yang dilahirkan akan membawa perubahan pada bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, termasuk struktur sosial dan pemerintahan kita. Struktur merupakan tempat bergelimangnya kepentingan. Sehingga sudah barang tentu kalau seseorang yang duduk di struktural memiliki otoritas yang bermesraan dengan kepentingan.


Kepentingan tersembunyi yang dipaksakan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain telah menuai amarah, kerusuhan mei 1998 adalah salah satu contohnya. Kelompok posisi otoritas yang suka melanggengkan status quo memang selalu bertentangan pada kelompok subordinat, yaitu selalu berupaya mengadakan perubahan. Namun anehnya, kelompok tersebut memiliki kecenderungan memposisikan menjadi kelompok yang berkepentingan semu, mereka tidak akan menampilkan diri menjadi kelompok konflik. Sehingga yang terjadi adalah masuknya masyarakat sipil yang terjerat dalam kolong konflik yang dijadikan topeng untuk menapaki singgasana yang bergelimangan dengan kemewahan di atas keserbasulitan. sehingga terjadinya kekerasan, baik dalam bentuk kerusuhan, pembakaran dan hal lainnya, selalu dan selalu dicari kambing hitamnya, seperti wacana agama, budaya, etnis, bahasa, dan seni, yang lain tidak lain adalah mengadu rakyat sendiri untuk bertarung fisik dan saling menjauhkan diri dari kemitmen suatu perubahan yang bermakna.


Mei kelabu telah menewaskan lebih dari 500 ribu orang yang hangus terpanggang dalam gedung yang dibakar masa. Mayat mereka di makamkan secara masal. Di sela-sela kelabuan mei itu, terlihat suasana merarik mahasiswa dan aparat kerja bareng untuk membersihkan batu-batu yang berserakan, bahkan perisai yang digunakan untuk bentrok digunakan untuk mengangkat batu-batu tersebut. Atraksi api dan asap telah usai, api yang melalap bangunan, dan asap menyapu langit dapat dibangun kembali, namun pertanyaan besar adalah bagaimana meneguhkan kemitmen kebangsaan kita dalam mewujudkan akal sehat masyarakat untuk melahirkan sebuah kerangka besar dalam membangun bangsa Indonesia yang besar, adil, makmur dan sejahtera. Bukan memangkukan masalah besar dengan kekerasasan budaya yang mampu memanipulasi kenyataan sebenarnya.

Siasat Membangun Komitmen Kebangsaan pada Nasionalisme Tionghua Peranakan

Komitmen kebangsaan atau nasionalime merupakan hal terpenting keberadaannya pada setiap warga Indonesia dalam wewujudkan bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki multikultural terbesar di dunia (Yaqin, 2005:3), terbukti negara Indonesia memiliki sekitar 17.000 pulau besar dan kecil yang di dalamnya hidup lebih dari 300 suku yang menggunakan hampir 700 lebih bahasa yang berbeda (Fishman, 1972 dalam Rokhman, 2006:1). Menurut Hans Kuhn “nasionalisme” adalah suatu paham kesetiaan tertinggi individu yang diserahkan kepada negara kebangsaan (Kuhn, 1984 dalam Jayusman, 2000:40). Pada umumnya, setiap bangsa memiliki faktor objektif tersendiri, yang berbeda dengan bangsa lainnya, seperti kesamaan keturunan, bahasa, daerah asal, kesatuan politik, adat-istiadat, tradisi, maupun perasaan keagamaan. Bangsa Indonesia seharusnya bangga bahwa kokohnya persatuan dan kesatuan Indonesia dari berbagai suku bangsa yang diwujudkan dalam upaya membela tanah air yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Namun komitmen kebangsaan itu belum tuntas dengan hadirnya bangsa lain yang ada dan hidup di nusantara. Hal ini dikarenakan konsep kebangsaan yang dicetuskan para bapak bangsa secara hakiki menolak kehadiran bangsa lain yang menjajah wilayah dan masyarakat Nusantara. Kasus di atas dapat dilihat dengan hadirnya etnis Tionghua yang dipandang melakukan ekspansi ekonomi, sosial dan budaya di wilayah nusantara, terbukti dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghua menjadi sasaran kekerasan rasial baik dalam bentuk stigma sosial, penjarahan, sampai dengan pembunuhan dan pembantaian massal, puncaknya yaitu pada tragedi pembantaian etnis Tionghua di kota Solo pata tahun 1998. Hal senada juga dikatakan oleh Jusuf (2005:60) problem rasial dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat lima macam yaitu diskriminasi dalam sistem politik hukum, kebijakan diskriminatif, keberadaan lembaga pelestari rasialisme, stigmatisasi kepada warga negara, kekerasan rasial dan politik asimilasi., dan hal itu menimpa etnis Tionghua.

Pelbagi pendekatan untuk mengintrepretasikan konsep kebangsaan telah dilaksanakan. Model pembauran telah dilaksanakan untuk meminimalisir kekerasan rasial antaretnis, meliputi bidang politik (pembentukan partai sosialis Indonesia), amalgamasi (perkawinan silang Tionghua-pribumi), agama (islamisasi) dan kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai landasan hukum untuk mendapatkan hak-hak hidupnya. Tetapi kenyataannya model pendekatan di atas tidak jarang menciptakan permasalahan baru dan dipandang tidak menyelesaikan masalah utama. Walaupun demikian, pemerintah tetap berusaha bagaimana kerukunan atar etnis itu terwujud dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Puncak kebijakan itu adalah dikeluarkannya UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Status Kewarganegaraan Republik Indonesia. Substansi dari Undang-undang tersebut adalah resminya etnis Tionghua yang lahir di Indonesia dan tidak pernah mendapatkan status kewarganegaraan dari negara manapun, menjadi warga negara Indonesia. Sehingga hak-hak yang tidak diperoleh etnis Tionghua sebelumnya akan didapatkan.

Peran pemerintah sebagai fasilitator dalam menumbuh-kembangkan komitmen kebangsaan dengan mengeluarkan peraturan atau produk hukum bukanlah tanpa hambatan. Terbukti tindakan diskriminatif dan kekerasan terhadap etnis Tionghua terjadi seiring dengan kebijakan-kebijakan. Hal ini dikarenakan konsep kebangsaan yang diciptakan para bapak bangsa telah mendarah daging yang memandang bahwa bangsa lain adalah penjajah (Wahid, 2000:20). Selain itu, menurut Jayusman (2007;41) tumbuhnya nasionalisme Tionghua peranakan jauh dari konsep keutuhan bangsa Indonesia yaitu terjadi dengan mengembangkan nasionalismenya melalui agama, kepercayaan dan tradisi juga menjadi penghambat konsep komitmen kebangsaan.

Nasionalisme Tionghua peranakan bangkit dan berkembang di awal abad ke-20 di Jawa. Menurut Jayusman (2007;42). Sebagai wujud nasionalisme tersebut, di Jawa muncul tiga kekuatan politik, yaitu Sin Po, Chung Hua Hui dan Partai Tionghua Indonesia. Ketiga kekuatan itu mempunyai orientasi politik yang berbeda. Sin Po berorientasi ke Negeri Tionghua, Chung Hua Hui berkiblat ke Hindia Belanda dan Partai Tionghua Indonesia bersimpati dan bergabung dengan pergerakan nasional Indonesia. Meskipun ketiga organisasi politik itu orientasinya berbeda-beda, namun semuanya sepakat bahwa agama, kepercayaan dan tradisi Tionghua digunakan sebagai ikatan solidaritas di antara mereka. Apa yang dilakukan oleh orang-orang Tionghua perantauan, yaitu mengembangkan nasionalisme lewat agama, kepercayaan dan tradisi, dilakukan pula oleh bangsa-bangsa lain di Asia. India memanfaatkan agama Hindhu untuk memperkuat nasionalismenya. Jepang dengan Shinto-nya, Srilanka dengan Budha-nya, Filipina dengan Kristen-nya, Indonesia dengan Islam-nya.

Walaupun demikian, pendekatan pembauran dan produk kebijakan-kebijakan sangat penting kehadiranya dalam membangun komitmen kebangsaan. Namun di sisi lain juga perlu dilakukan revitalisasi nilai-nilai kebangsaan yang telah ada dalam lanskap pemikiran warga negara Indonesia seiring dengan kemajuan zaman dan posisi Indonesia dalam kancah global. Berdasarkan latar belakang di atas pertanyaannya kemudian adalah “bagaimana membangun komitmen kebangsaan pada nasionalisme Tionghua peranakan?”

Dalam melakukan revitalisasi nilai-nilai kebangsaan, pendidikan merupakan proses yang sangat tepat. Karena dalam ranah pendidikan, berbagai pemikiran dan permasalahan yang berhubungan dengan nilai-nilai kebangsaan selalu dikawal dan diuji kebenarannya baik dalam ranah ontologis maupun ranah aksiologisnya. Selain itu generasi muda Indonesia terlibat secara langsung dengan cara mengetahui, menganalisis, memahami dan mengaplikasikan tentang rasa kebangsaan untuk membangun Indonesia ke depan. Namun bagaimana model pengajaran tenaga pendidik yang mampu membangun komitmen kebangsaan warga negara Indonesia.

Penanaman nilai-nilai kebangsaan pada era orde baru dilakukan dengan melakukan doktrinasi nilai-nilai P4. Namun dalam era reformasi, nilai-nilai yang dibangun dalam butir-butir P4 terbukti memiliki kepentingan politik dari partai politik tertentu. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan P4 dipangkas habis. Dinamika tersebut bukanlah tanpa hambatan, bahkan disinyalir wacana kebangsaan yang ditanamkan pada kurikulum pendidikan tidak dimunculkan, padahal untuk membangun Indonesia kedepan, nilai-nilai kebangsaan sangat diperlukan.

Komitmen kebangsaan Tionghua peranakan merupakan kajian menarik. Hal ini terbukti tragedi diskriminasi dalam bentuk pembantaian dan pembakaran aset Tionghua peranakan terjadi pada tahun 1998 di kota Solo dan sampai sakarang peristiwa tersebut masih membekas dalam diri bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Wasino (2006;40) etnis Tionghua memiliki kecenderungan sebagai berikut; eksklusif dalam berbagai aspek, piawai dalam berdagang, memiliki pandangan bahwa kekayaan dunia adalah segalanya, enggan menginvestasikan kekayaannya untuk investasi sosial, dan menganggap derajatnya lebih tinggi seperti paham nenek moyang Tionghua yang beranggapan bahwa Tionghua merupakan bangsa yang berkebudayaan tertinggi, Sehingga dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghua menjadi sasaran kekerasan fisik. Dengan demikian, sangat penting membangun komitmen kebangsaan pada nasionalisme Tionghua peranakan pada kurikulum pendidikan pada bangsa yang multikultural ini.

Membangun komitmen kebangsaan pada nasionalisme Tionghua peranakan dengan kurikulum pendidikan yang dimaksud adalah menghadirkan keterlibatan etnis Tionghua dalam proses kemerdekaan Indonesia pada kurikulum pendidikan nasional. Dengan menghadirkan keterlibatan etnis Tionghua dalam proses kemerdekaan Indonesia pada kurikulum pendidikan nasional, warga negara Indonesia akan lebih memahami dan mengapresiasikan dari konsep komitmen kebangsaan yang dimiliki selama ini dalam untuk mencapai kemandirian bangsa di segala bidang. Selain itu generasi muda dari etnis Tionghua peranakan akan lebih tepat dalam memposisikan diri dalam mewujudkan Indonesia adalah tanah air mereka. Dengan demikian tercapailah kesatuan dan persatuan warga Indonesia yang utuh, seperti yang dicetuskan dalam kebijakan pemerintah tentang undang-undang kewarganegaraan Indonesia yaitu pada UU Nomor 12 tahun 2006.

Film dokumenter merupakan salah satu media pembelajaran di sekolah sebagai jembatan untuk membangun kemitmen kebangsaan Tionghua peranakan dalam rangka keterlibannya dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Hal ini dikarenakan film dokumenter merupakan alat yang mampu menggambarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu secara hidup (vivid) sebagaimana adanya (Raharjo, 2005:115). Hal senada juga ungkapkan oleh Sambar (2006:40) bahwa film dokumenter adalah kegiatan menyimpan peristiwa di belakang agar peristiwa dalam film itu tidak sebatas menjadi kenangan, tapi juga mengonstruksi kembali suatu semangat di balik peristiwa itu.

Namun untaian pemikiran di atas masih dalam tahap wacana dalam membangun kebangsaan Indonesia kedepan. Maka oleh dari itu perlu dilakukan proses pengoperan ide dan gagasan yang mendalam pada generasi bangsa. Apalagi wacana kebangsaan, implementasi dan pengembangannya merupakan aras semu yang tidak pernah habis untuk diperbincangan dari berbagai lintas disiplin ilmu dan cara pandang.


GURU SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI MISKIN MEDIA PEMBELAJARAN

Dewasa ini dunia pendidikan terus bergerak secara dinamis dalam menciptakan media pembelajaran. Hal ini dapat dilihat beberapa jenis media pembelajaran yang digunakan diantaranya media teks, grafis, foto, video, audio, dan animasi dan terakhir adalah teknologi komputasi multimedia. Perkembangan di atas berangkat dari sebuah penelitian, dimana media pembelajaran telah terbukti memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa (Werti, 2004;21). Selain efektif dalam menjelaskan banyak persoalan yang kompleks (Saraswati, 2005;60), cara belajar yang irit waktu (Saraswati, 2002;12), meningkatkan interesting siswa, mengurangi kebosanan, dan lebih bersemangat untuk mengembangkan bahan pelajarannya (Rohani, 1997;50). Namun ironisnya, berdasarkan hasil penelitian tentang profil guru Sosiologi dan Antropologi se Jawa Tengah yang dilakukan oleh HIMPRO Sosiologi & Antropologi Fis Unnes menunjukkan bahwa masih sedikitnya guru Sosiologi & Antropologi yang memproduksi media pembelajaran untuk digunakan pada saat proses belajar mengajar. Entah kendala apa yang menyebabkan keadaan di atas, namun dari penelitian yang sama di temukan bahwa dari 123 sekolah tingkat SMA yang diteliti hanya terdapat 12 guru yang berasal dari ilmau yang sama, selebihnya berlatar belakang disiplin ilmu yang berbeda, diantaranya dari jurusan PKK, Geografi, Seni, Sejarah, Bahasa Prancis, dan Bahasa Jawa. Serta ditambah lagi dengan penggunakan sumber belajar yang sebagian besar menggunakan buku paket. Menyikapi kondisi di atas, perlu kiranya para instansi dan lembaga yang terkait, diataranya; LPTK prodi pendidikan Sosiologi & Antropologi, MGMP Guru Sosiologi dan Antropologi, Puskur Sosiologi dan Antropologi, Pihak Sekolah, melakukan koordinasi bersama untuk menjawab kelangkaan media pembelajaran yang digunakan saat PBM berlangsung dan sekaligus memetakan input pengajar mata pelajaran diatas dengan lebih profesional. Sehingga out put pendidikan tercapai dengan maksimal.

Sekolah Unggulan

Sudah menjadi tradisi setiap tahun ajaran baru orang tua selalu sibuk memilih sekolah terbaik bagi anaknya. Masyarakat sendiri telah mengapresiasi adanya sekolah-sekolah favorit, sekolah unggulan di setiap daerahnya, terlebih di perkotaan. Mahal murahnya biaya bagi mereka tidak menjadi persoalan. Bahkan, orang tua rela merogoh sakunya, yang penting anaknya bisa sekolah di tempat terbaik dan bergengsi. Bersekolah di sekolah favorit, di samping terkait dengan prestasi seringkali berurusan pula dengan prestise orang tua. Bahkan menjelang ujian akhir sekolah, ujian nasional dan ujian masuk, banyak guru dan kepala sekolah mendapatkan permintaan bahkan bernada paksaan agar anaknya dapat lulus dan diterima di sekolah yang bersangkutan.

Lahirnya sekolah favorit dan bereputasi unggul disebabkan oleh beberapa faktor. Sekolah bereputasi unggul biasanya sejak semula sekolah didesain menjadi sekolah yang memiliki keunggulan. Unggul dalam kelengkapan fasilitasnya, kualifikasi tenaga kependidikannya, unggul dalam budaya sekolahnya dan sebagainya, sehingga bisa membangun citra, prestasi, dan prestise terhadap lulusannya. Ada juga sekolah bereputasi unggul yang didesain melalui proses perjalanan kesejarahan yang panjang. Tetapi ada pula sekolah yang memiliki predikat unggul karena memang didesain untuk menawarkan berbagai keunggulan kepada siswanya sehingga orang tua merasa tertarik untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Pada umumnya model sekolah yang sejak berdirinya menawarkan keunggulan adalah sekolah yang didirikan pihak swasta. Banyak sekolah yang dibuat dengan target menawarkan berbagai program unggulan. Mulai dari kurikulum hingga metode pembelajaran. Bahkan ada sekolah yang menawarkan full day school, boarding school dan sebagainya. Terobosan sekolah untuk menawarkan berbagai keunggulan bisa dari aspek akademik maupun nonakademik, termasuk peran media sosialisasi penting di dalamnya.

Agar unggul sekolah menyediakan macam-macam kegiatan, ada pelajaran piano, menari, komputer, pencak silat, arung jeram, mendaki gunung, dan sejumlah kegiatan ekstrakurikuler lainnya, ataupun aktivitas keagamaan yang dewasa ini dianggap sebagai jawaban terhadap krisis kehidupan yang jumud. Biasanya kegiatan seperti itulah yang menyebabkan biaya tak langsung (indirect cost) pendidikan menjadi mahal. Sekolah membuat program yang lain dari yang lain, tidak konvensional, sehingga menjadi daya tarik dan keunggulannya.

Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi. Namun di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Kompas, 29 April 2002).

Untuk mendapatkan peserta didik yang tergolong berbakat seperti yang disebutkan dalam definisi di atas, berikut disampaikan 14 ciri-ciri keberbakatan yang telah memiliki korelasi yang signifikan (Balitbang Depdikbud, 1986): (1) Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pemikirannya); (2) Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan; (3). Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berpikir logis dan kritis; (4). Mampu belajar/bekerja secara mandiri; (5). Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa); (6). Mempunyai tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya; (7). Cermat atau teliti dalam mengamati; (8). Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah; (9). Mempunyai minat luas; (10). Mempunyai daya imajinasi yang tinggi; (11). Belajar dengan mudah dan cepat; (12). Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat; (13). Mampu berkonsentrasi; dan (14). Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.

Hal senada juga dinyatakan oleh Seogoe (dalam Martinson, 1974) yang menunjukkan bahwa ciri-ciri tertentu dari siswa yang memiliki potensi kecedasan dan bakat istimewa dapat atau mungkin mengakibatkan timbulnya masalah-masalah tertentu, misalnya: (1). Kemampuan berpikir kritis dapat mengarah ke arah sikap meragukan (skeptis), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain; (2). Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-hal yang baru, bisa menyebabkan mereka tidak menyukai atau lekas bosan terhadap tugas-tugas rutin; (3). Perilaku yang ulet dan terarah pada tujuan, dapat menjurus ke keinginan untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya; (4). Kepekaan yang tinggi, dapat membuat mereka menjadi mudah tersinggung atau peka terhadap kritik; (5). Semangat, kesiagaan mental, dan inisiatifnya yang tinggi, dapat membuat kurang sabar dan kurang tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau jika kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung; (6). Dengan kemampuan dan minatnya yang beraneka ragam, mereka membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan mengembangkan minatnya; (7). Keinginan mereka untuk mandiri dalam belajar dan bekerja, serta kebutuhannya akan kebebasan, dapat menimbulkan konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan dari orang tua, sekolah, atau teman-temannya. Ia juga bisa merasa ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya; dan (8). Sikap acuh tak acuh dan malas, dapat timbul karena pengajaran yang diberikan di sekolah kurang mengundang tantangan baginya.

Namun dengan adanya sekolah unggulan yang menyebar di tiap-tiap daerah, ternyata membawa dampak tutupnya beberapa sekolah. Tahun 2000 saja terdapat empat sekolah swasta masing-masing tiga SLTP dan satu SMU mesti mengembalikan izin operasional. Pengembalian izin itu karena tiap tahun sekolah itu tak mendapatkan siswa. Tiga SLTP yang mengembalikan izin itu ada di Tabanan, Badung dan Jembrana. Satu SMU ada di Jembrana. Kemudian pada tahun 2001 ada empat sekolah yang gugur karena tidak mendapatkan siswa. Dua SLTP swasta itu ada di Buleleng dan dua SMU di Tabanan. Lebih parah lagi, pada 2002 ini ada sembilan sekolah swasta yang dikategorikan redup bahkan menuju ''mati''. Lima SLTP itu tersebar di Buleleng, Jembrana, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Sedangkan 4 SMU masing-masing ada di Buleleng, Gianyar, Klungkung dan Bangli. Dari 2.676 SD di Bali, 78 sekolah sudah melakukan regrouping yakni penggabungan menjadi satu halaman (http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2002/9/11/b6.htm).

Padahal secara umum siswa memiliki prestasi yang sama. Hal ini dapat dilihat menurut Hallahan dan James (1991;6-7) bahwa bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat. Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991) penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Secara statistik, dengan mengambil kurve normal, jumlah peserta didik yang termasuk unggul, jika asumsi 5 persen saja, total peserta didik unggul mulai SD sampai SLTA mencapai 40,5 juta orang, dengan pembagian 29,57 juta SD/MI, 6,74 juta SLTP, dan 4,41 juta SLTA (Murdiyat Suara Merdeka, 17 Maret 1997).

Di sisi lain keluhan juga muncul di lapangan secara bersamaan didukung oleh temuan studi terhadap 20 SMU Unggulan di Indonesia yang menunjukkan 21,75 % siswa SMU Unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata, sedangkan mereka yang tergolong anak memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa hanya 9,7 % (Reni, 1998). Pada tahun 1998/1999, dua sekolah swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah swasta di Jawa Barat melakukan ujicoba pelayanan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam bentuk program percepatan belajar (akselerasi), yang mendapat arahan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada tahun 2000 program dimaksud dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada Rakernas Depdiknas menjadi program pendidikan nasional. Pada kesempatan tersebut Mendiknas melalui Dirjen Dikdasmen menyampaikan Surat Keputusan (SK) Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar kepada 11 (sebelas) sekolah yakni 1 (satu) SD, 5 (lima) SLTP dan 5 (lima) SMU di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kemudian pada tahun pelajaran 2001/2002 diputuskan penetapan kebijakan pendiseminasian program percepatan belajar pada beberapa sekolah di beberapa propinsi di Indonesia.

Akibat lebih lanjut adalah pada siswa dapat menjadi anak yang berprestasi di bawah potensinya (underachiever) atau bahkan malah mungkin menjadi anak yang bermasalah (mengalami kesulitan belajar). Hal ini nyata dari hasil penelitian Herry, dkk., (1996) terhadap siswa SD di propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat, yang menunjukkan bahwa 22% dari siswa yang memiliki potensi kecerasan dan bakat istimewa beresiko tinggal kelas (nilai rata-rata rapornya kurang dari 6,00). Demikian pula hasil penelitian Herry, dkk., (1997) terhadap siswa SLTP di empat propinsi yang sama menunjukkan bahwa 20% dari siswa SLTP yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga beresiko tinggal kelas. Sementara itu, hasil penelitian Yaumil (1990) di Jakarta terhadap siswa SMA menunjukkan bahwa sekitar 30% dari siswa SMA yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berprestasi di bawah potensinya.

Keadaan di atas tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain. Beberapa penelitian di negara maju, seperti di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 25% dari siswa yang putus sekolah adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Utami Munandar, 1989). Selain itu, Marland (1971) juga mengemukakan bahwa lebih dari separuh anak yang memilki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berprestasi di bawah potensinya disebabkan karena tidak mendapat program pendidikan yang sesuai.

Pada negara-negara maju, terdapat berbagai jenis program pendidikan untuk siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Getls dan Dillon, dalam Hallahan dan Kaufman, 1982), antara lain: (1). Sekolah musim panas di negeri dengan empat musim, (2). Pendidikan dasar tidak berjenjang, (3). Diterima lebih awal di perguruan tinggi, (4). Pelajaran-pelajaran perguruan tinggi bagi siswa-siswa setingkat sekolah menengah, (5). Mata-mata pelajaran di sekolah menengah dan kreditnya diakui di perguruan tinggi, (6). Kelas-kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu yang ada dalam kurikulum, (7). Kelas-kelas khusus pada semua mata pelajaran yang ada dalam kurikulum, (8). Seminar-seminar hari Sabtu, (9). Pengelompokan berdasar kemampuan, (10). Pengayaan di kelas-kelas biasa, (11). Guru tamu, (12). Penambahan mata pelajaran, (13). Tugas-tugas kelompok dan tugas-tugas ekstrakurikuler, (14). Wisata karya, (15). Pelajaran-pelajaran khusus melalui televisi, (16). Program pelajaran biasa setengah hari, dan program pengayaan setengah hari lainnya, (17). Percepatan, (18). Sekolah-sekolah khusus, (19). Program konsultasi, (20). Bimbingan/tutorial, (21). Belajar mandiri, (22). Pertukaran pelajar, (23). Peningkatan yang luwes (misalnya anak SD mengambil pelajaran di SMP, dsb.), (24). Penempatan siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, (25). Program pemberian penghargaan, (26). Program kegiatan yang ditawarkan lembaga non-sekolah, seperti museum, perpustakaan, dan (27). Kurikulum khusus.

Kalau merujuk pada masyarakat berkembang, dewasa ini terdapat kecenderungan bahwa kemajuannya masyarakat ke arah industri. Sebagian besar orang tua siswa adalah bekerja, sehingga perhatian dengan anaknya tidak begitu diutamakan. Dengan latar belakang tersebut munculah konsep sekolah unggulan atau sekolah favorit. Berbagai kurikulum ditawarkan oleh sekolah untuk mencukupi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Mulai dari kurikulum nasional, muatan materi internasional, sampai kurikulum berbasis keagamaan dihadirkan sebagai tawaran untuk menjadikan anaknya lebih unggul.

Namun permasalahan umum yang ditemui setiap lembaga pendidikan saat ini adalah sekolah belum mampu menawarkan kepada publik akan keunggulan sistem pendidikan yang diberlakukan dan diraihnya. Berbagai inovasi pendidikan untuk meningkatkan keunggulan output sekolahnya se-akan tenggelam begitu saja, dan bahkan ditenggelamkan oleh sekolah-sekolah yang sebenarnya tidak berkualitas. Sekolah-sekolah yang sedang berbenah diri hendaknya melakukan inovasi untuk menawarkan kepada publik akan eksistensinya di dunia pendidikan. Sehingga wacana akan peminggiran sekolah dan terjadi krisisnya daya minat siswa untuk masuk sekolah tidak terjadi.

Untuk itu hendaknya sekolah menyuguhkan media yang mampu menghadirkan realita dari kualitas sekolahnya. Media yang mampu menghadirkan realitas yang sebenarnya inilah yang akan berfungsi mempengaruhi publik, pada umumnya jenis media elektronik. Salah satu jenis media elektronik berbasis multimedia adalah VCD Film Dokumeter. Jenis media ini memiliki ciri khas yaitu unggul dalam menyampaikan pesan, memuat data visual dan narasi, dan mudah dioperasikan.

EKAYASA SOSIAL DALAM MENGEMBANGKAN WISAA SOSIAL BUDAYA

Sudah saatnya masyarakat terlibat langsung dalam proses pembangunan dalam menatap masa depan. Paradigma lama menyebutkan dalam proses pembangunan selalu memposisikan masyarakat sebagai objek pembangunan bukan sebagai pelaku pembangunan, padahal masyarakatlah yang menjadi pemilik dan pengelola pembangunan di daerah masing-masing untuk mewujudkan pembangunan nasional yang kuat dan mapan.

Defisini pembangunan Wisata budaya menurut Suranti (2005;4) yaitu wisata sebagai proses dan wisata sebagai produk. Wisata sebagai proses yaitu proses pertukaran ide, yang memberikan sumbangan bagi tumbuhnya ide-ide kreatif. Hal ini mudah dipahami karena kreatifitas biasanya tumbuh karena munculnya pikiran-pikiran alternatif yang umumnya datang dari luar. Dalam arti kedua, wisata budaya sebagai produk yaitu atraksi-atraksi wisata yang ditawarkan bagi wisatawan, khususnya jenis wisata yang memuat informasi atau mengandung pesan-pesan yang mengandung budaya. Atraksi-atraksi wisata ini berupa peninggalan-peninggalan sejarah, pertunjukan kesenian, ritual keagamaan, pertunjukan ketrampilan dan lain-lain.

Namun cara pandang di atas tampaknya belum diimplementasikan setiap daerah yang memiliki potensi wisata sosial budaya yang beragam. Hal ini dapat dilihat pada era orde baru sektor pariwisata lebih di orientasikan pada kawasan Indonesia bagian barat mengikuti alur pembanguan sarana dan prasarana di kawasan barat Indonesia dibandingkan dengan yang terdapat dikawasan timur Indonesia. Konsentrasi utama sektor pariwisata di era Orde baru lebih fokus pada wisata kawasan Bali. Sehingga hal itu mengakibatkan potensi di setiap daerah seakan tenggelam, padahal memiliki potensi wisata sosial budaya yang kaya dan beragam akan pesan-pesan budaya untuk penuntun hidup di hari depan. Dampak dari model pengembangan di atas yaitu keterbatasan model pengembangan wisata sosial budaya di bidang material dan nonmaterial. Keterbatasan di bidang material di antaranya dapat dilihat minimnya sarana dan prasarana wisata sosial budaya, rusaknya situs dan berbagai artefak atau hasil budaya lainnya. Hal senada juga demikian terjadi pada bidang non-material, dimana keterbatasan dalam pengembangan wisata sosial budaya di tingkat pemikiran dan kesadaran para pemilik budaya semakin terpuruk. Hal ini kemudian menyebabkan mobilitas angkatan kerja usia muda berduyun-duyun mencari kerja di perkotaan yang kemudian berimbas pada permasalahan sosial dan ekonomi diantaranya pengangguran, pencurian dan penyakit sosial lainnya. Padahal di tempat kelahiran dari pemburu kerja tersebut masih banyak potensi daerahnya yang dapat dibanggakan. Hal ini dikarenakan masyarakat minim akan dilibatkannya dalam mengembangkan wisata sosial budaya di bidang nonmaterial.

Prospek wisata budaya dalam era global semakin cerah. Hal ini dapat dilihat adanya kecenderungan global kepariwisataan, dimana wisata sosial budaya kedepan akan menjadi pilihan para wisman dan menjadi daya tarik yang handal dalam mengembangkan potensi dimasing-masing daerah (Nirwandar, 2006;1). Secara umum Nirwandar (2006;9) menguraikan akan kekuatan, kelemahan dan peluang pembangunan kepariwisataan Indonesia. Kekuatan wisata sosial budaya Indonesia diantanya; kaya akan pernak-pernik budaya, kaya akan daya tarik alamnya, keragaman aktifitas wisata, lokasi wisata bahari terabaik di dunia, kaya akan jenis dan ragam kuliner dan kemajmukan akan kehidupan masyarakatnya. Namun di sisi lain wisata sosial budaya Indonesia juga memiliki banyak kelemahan diantaranya; pengemasan daya tarik wisata, terbatasnya diversifikasi produk, lemahnya pariwisata destinasi pariwisata, kualitas pelayanan wisata, disparitas pembangunan kawasan pariwisata, interpretasi-promosi dan komunikasi pemasaran, kualitas sumber daya manusia dan kondisi keamanan. Hal senada juga diungkapkan oleh Nirwanda, bahwa setiap daerah telah memiliki peluang dalam pengembangan wisata sosial budaya, yaitu dengan keramahtamahan penduduk, kemajmukan masyarakat dan jumlah penduduk yang dapat berperan serta dalam kepariwisataan. Peluang di atas sampai sekarang tampaknya masih menjadi pusat perhatian, karena peluang yang ada masih menjadi kendala dalam mengembangkan wisata sosial budaya di tiap-tiap daerah dalam era otonomi daerah.

Selaras dengan Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional tahun 2005-2009, sektor kepariwisataan telah diarahkan sebagai penopang ekonomi Indonesia ke depan. Hal senada juga dilakukan oleh Pemerintah Proponsi Jawa Tengah, dimana sektor kepariwisataan merupakan sektor penting dalam membangun Jawa Tengah kedepan. Berdasarkan latar belakang di atas, perlu-kiranya diciptakan model keterlibatan masyarakat secara utuh dalam mengembangkan wisata sosial budaya sebagai aset proses dan produk dalam era otonomi daerah yang telah berjalan selama ini. Dalam model yang ditawarkan oleh Nirwandar (2006) tentang pembangunan sektor pariwisata di era otonomi daerah perlu dicermati. Dalam konsepnya menawarkan paradigma baru dalam pembangunan kepariwisataan dimana kepariwisataan daerah diusung dalam tujuh pilar yaitu; pariwisata sebagai persatuan dan kesatuan bangsa, penghapusan kemiskinan, pembangunan berkesinambungan, pelestarian budaya, pemenuhan kebutuhan hidup dan hak azasi manusia, peningkatan ekonomi industri, dan pengembangan tekonologi.

Propinsi Jawa Tengah kaya akan wisata alam, wisata bahari, wisata bangunan bersejarah, dan wisata sosial budaya. Tercatat wisata sosial budaya Propinsi Jawa Tengah terdapat lima jenis wisata sosial budaya yaitu suku Jawa, Bagelan, Banyumas, Negarigung dan suku Samin (Melalatoa, 1995;79). Dari lima keragaman sosial di atas telah dipercayai memiliki keragaman budaya sebagai aset wisata budaya mulai dari bahasa, adat istiadat, sistem sosial, ritual, sistem pendidikan, artefak, ragam seni, dan unsur budaya lainnya. Dengan keragaman sosial dan budaya di atas dapat dijadikan objek unggulan wisata daerah Propinsi Jawa Tengah. Namun kendala wisata di Propinsi Jawa Tengah masih terbelit dalam hal peran serta masyarakat di bidang wisata sosial budaya masing-masing.

Berdasarkan latar belakang di atas perlu diciptakan model pengembangan potensi wisata sosial budaya Propinsi Jawa Tengah. Model yang akan ditawarkan adalah dengan VCD film dokumenter wisata budaya. VCD film dokumenter inilah yang nantinya sebagai rekayasa sosial dalam mengembangkan wisata budaya Propinsi Jawa Tengah

VCD film dokumenter wisata sosial budaya merupakan salah satu produk yang dapat dijadikan media atau jembatan antara Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Propinsi Jawa Tengah dengan masyarakat pemilik wisata budaya. Dengan menghadirkan produk wisata sosial budaya di dalam masyarakat pemilik budaya yang bersangkutan, masyarakat akan lebih aktif dalam mengembangkan wisata budayanya. Dengan model tersebut maka diharapkan akan menjadi media pelopor paradigma partisipatif dalam mengembangkan wisata budaya Propinsi Jawa Tengah, di mana masyarakat bukan hanya sebagai penyedia, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pemilik, pengelola dan pengembang wisata sosial budaya untuk menuju wisata sosial budaya Propinsi Jawa Tengah dalam konteks kepariwisataan global.


Teori Konsumsi

Definisi konsumsi


Menurut Chaney (2003;54) konsumsi adalah seluruh tipe aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga dapat di pakai untuk mencirikan dan mengenal mereka, selain (sebagai tambahan) apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup. Chaney menambahkan, gagasan bahwa konsumsi telah menjadi (atau sedang menjadi) fokus utama kehidupan sosial dan nilai-nilai kultural mendasari gagasan lebih umum dari budaya konsumen.


Menurut Braudrillard (2004;87), konsumsi adalah sistem yang menjalankan urutan tanda-tanda dan penyatuan kelompok. Jadi konsumsi itu sekaligus sebagai moral (sebuah sistemideologi) dan sistem komunikasi, struktur pertukaran. Dengan konsumsi sebagai moral, maka akan menjadi fungsi sosial yang memiliki organisasi yang terstruktur yang kemudian memaksa mereka mengikuti paksaan sosial yang tak disadari.


Definisi konsumsi menurut cara pandang durkemian adalah sebuah perilaku aktif dan kolektif, ia merupakan sebuah paksaan, sebuah moral, konsumsi adalah sebuah institusi. Ia adalah keseluruhan nilai yaitu berimplikasi sebagai fungsiinegrasi kelompok dan integrasi kontrol sosial.


Chaney menambahkan, gagasan bahwa konsumsi telah menjadi (atau sedang menjadi) fokus utama kehidupan sosial dan nilai-nilai kultural mendasari gagasan lebih umum dari budaya konsumen. Menurut Baudrillard, kita hidup dalam era di mana masyarakat tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna, melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikansinya sewenang-wenang dan tergantung kesepakatan dalam apa yang disebutnya kode (Sutrino dan Putranto. 2005:262). Hal senada juga dikatakan oleh Tumenggung dimana pada saat ini telah terbentuk masyarakat konsumen, yaitu masyarakat di mana orang-orang berusaha mengafirmasi, meneguhkan identitas dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengkonsumsi sistem tanda bersama (dalam Sutrino dan Putranto. 2005:263).


Budaya konsumen menurut Featherstone yaitu hubungan penggunaan benda-benda dan cara-cara melukiskan status (Chaney, 2003:67). Dengan melakukan kosumsi, setiap orang akan membentuk gaya hidupnya. Gaya hidup menurut Chaney (2003;40) adalah pola-pola tindakan untuk membedakan antara satu orang dengan orang lain atau gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu. Gaya juga diartikan sebagai cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan niali sosial atau simbolik; tapi ini juga berarti gaya hidup adalah bermain dengan idenitas. Masih dengan Chaney, gaya hidup juga dipandang sebagai proyek kreatif dan hal tersebut merupakan bentuk-bentuk pendeklarasian yang memuat penilaian-penilaian aktor dalam menggambarkan lingkungannya.


Konsumsi dilihat dari kaca mata sosiologi menurut Braudrillard adalah pertukaran perbedaan yang mengokohkan persatuan kelompok. Dengan demikian perbedaan-perbedaan yang dikodekan sebaliknya menjadi alat tukar. Disitulah masalah mendasar dimana konsumsi didefinisikan;

  1. tidak lagi sebagai pratik fungsional objek kepemilikan, dan tidak lain-lain.

  2. tidakalgi sebagai fungsi sederhana prestise individual atau kelompok.

  3. tetapi sebagai sistem komunikasi dan pertukaran, sebagai kode tanda-tanda yang secara terus menerus disiarkan, diterima dan ditemukan lagi menjadi sebagai bahasa khas (language).

Braudrillard menambahkan, dengan cara pandang struktural, sistem konsumsi tidak didasarkan pada tingkatan terakhir pada kebutuhan dan kenikmatan, tetapi pada peraturan tanda (objek/tanda) dan perbedaannya.


Asal-Usul Konsumsi

Menurut Braudrillard, asal-usul konsumsi dalam konstruk sistem industri adalah sebagai berikut;

  1. tatanan produksi menghasilkan mesin/kekuatan produktif, sistem teknik yang secara radikal berbeda dengan alat tradisional.

  2. Ia mengasilkan modal/kekuatan produktif yang masuk akal, sistem invetasi dan sirkukalasi rasional yang secara mendasar berbeda dengan “kekayaan” dan model perdagangan sebelumnya.

  3. Ia menghasilkan kekuatan tenaga kerja bergaji, kekuatan produktif yang abstrak, tersistematisasi, yang secara mendasar berbeda dengan pekerjaan nyata dan dengan pekerjaan tradisional.

  4. Terakhir ia mrlahirkan kebutuhan-kebutuhan, sistem kebutuhan/kekuatan produktif sebagai kumpulan yang dirasionalisasikan, disatukan, diawasi, melengkapi tiga hal yang lain dalam proses pengawasan total dengan kekuatan produktif dan dengan proses produktif. Kebutuhan-kebutuhan sebagai sistem secara mendasar, juga berbeda dengan kesenangan dan kepuasan.


Logika Sosial Konsumsi


Braudrillard (2004;ix) membahas tentang teori produksi dan objek yang didasarkan pada semiotika, yang mnekankan pentingnya nilai tanda dari objek-objek hasil konstruksi industri. Masih rendahnya pemahaman orang akan tanda-tanda yang kebanyakan tanda-tanda itu dikonsepsikan oleh beberapa kepentingan yang menjebak. Braudrillard mengatakan pada saat ini masyarakat hidup dalam bayang-bayang konsumsi merek, yang dipompa oleh sarana iklan. Braudrillard memandang bahwa tidak ada yang disebut dengan masyarakat berkecukupan; semua masyatakat mengkombinasikan ekses struktural dan kefakiran sruktural. Dalam memandang perumbuhan, Braudrillard cenderung memaknai bahwa pertumbuhan diperlukan untuk membatasi gerak orang-orang miskin dan memelihara sistem. Konsumsi dipandang sebagai perilaku kolektif (Durkhemian), sesuatu yang dipaksakan, satu moralitas, institusi dan seluruh sisen nilai. Dengan tegas Braudrillard berpendapat bahwa konsumsi yang berlebihan dan tidak bergunalah yang memungkinkan orang dan masyarakat merasa bahwa ada, bahwa mereka sepenuhnya hidup. Dalam tataran sosial, ada dua tatanan sosial yang saling terkait, yaitu tatanan produksi dan tatanan konsumsi.


Braudrillard mengatakan pada saat ini masyarakat memiliki logika konsumsi. Menurutnya, logika sosial konsumsi tidak akan terfokus pada pemanfaatan nilai guna barang jasa oleh individu, namun terfokus pada produksi dan manupulasi sejumlah penanda sosial. Komoditas tidak lagi dipandang didefinisikan berdasarkan kegunaannya, namun berdasrkan atas apa yang mereka maknai. Dan apa yang mereka maknai didefinisikan bukan oleh apa yang mereka lakukan, melainkan hubungan mereka dengan seluruh sisemkomoditas dan tanda. Dalam masyarakat yang memiliki logika konsumsi, statusnya di bagi menjadi tiga, yaitu pengausa tanda atas kode dan kelas menengah dan kelas bawahlah yang merupakan konsumen sejati karena mereka tidak memiliki pernguasaan seperti itu.


Braudrillard, perubahan objek dan perubahan kebutuhan terjadi karena terjadinya perubahan makna. Braudrillard menyebutnya terjadi mitologi rasionalis terhadap kebutuhan dan kepuasan. Dalam logika tanda, seperti logika simbol-simbol, objek-objek tidak lagi dihubungkan dengan dungsi atau dengan kebutuhan yang nyata. Dengan logika tanda, objek atau barang akan menciptakan kenyamanan, prestise dan lain-lain. sehingga pada saat itu terjadi perubahan kebutuhan yang memunculkan keinginan. Dengan perubahan keinginan itu, menurut Braudrillard, mereka akan lebih berarti. Menurut Braudrillard, tubuh saat ini telah menjadi penanda status sosial. Nilai tubuh menjadi fungsional artinya bukan lagi daging dalam pandangan religius, bukan kekuatan kerja dalam logika industri, tetapi dikembalikan dalam sifatnya (atau dalam identitas yang tampak) sebagai objek dari pengagungan narasis atau unsur taktis dan unsur ritual sosial, kecantikan dan erotisme adalah dua rumusan utama yang sering muncul.


Analisis konsumsi

Menurut Braudrillard, proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu;

  1. sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (code) dimana praktik-paktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Disini konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa. Pembahasan strukturallah yang bisa memasuki tingkatan ini.

  2. sebagai proses klasifikasi dan deferensiasi sosial, dimana kali ini objek-objek/tanda-tanda ditasbihkan buakn hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierakhi. Disini konsumsi dapat menjadi objek pembahasan strategis yang menetukan kekuatan, kehususnya dalam distribusi nilai yang sesuai aturan (melebihi hubungannya dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan, budaya dan lain-lain).



Daftar pustaka:

Braudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumtif. Yogyakarta. Kreai Wacana.