Kota mati, itulah sebutan kawasan kota Solo, kota yang saat ini merangkak untuk meneguhkan dirinya menjadi kota budaya, pada saat terjadinya kerusuhan tahun 1998. Kenapa tidak, karena pada saat itu kawasan kota Solo sebagai gudang asap yang bersumber dari pembakaran bangunan dan gedung ekonomi baik milik pengusaha dari keluarga dekat pemerintah orde baru dan milik etnis tiong hoa. Kemarahan masal yang tunjukkan dengan pembakaran gedung pencakar langit itu sudah jauh hari dilatarbelakangi oleh kelaparan perut rakyat yang sulit mendapatkan sembako dengan harga selangit. Jelas, keadaan tersebut mudah menyulut kemarahan masal yang kemudian diwujudkan dengan kesepakatan bersama untuk melakukan mobilitas sosial dengan dalih medapatkan keadilan ekonomi di masa depan. Jauh hari tanda-tanda krisis ekonomi akan melanda Indonesia termasuk negara-negara di kawasan asia. Banyak yang mengiyakan bahwa yang menyebabkan itu adalah krisis moneter dengan hadirnya program pembangunan ekonomi pada negara underdevolepment. Namun program pembangunan dengan pendekatan pinjaman utang yang domotori oleh IMF gagal total, karena negara dalam hal ini adalah struktural tidak mampu membaca skenario ekonomi global. Lebih parahnya para struktural negara ordebaru seakan lempar batu sembunyi tangan karena seringnya dimanjakan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme yang membabi buta, namun di sisi lain, mereka tetap berani dan melakukan sistem politik status quo, untuk memperkaya diri. Lagi-lagi yang kena batunya adalah masyarakat kecil, dengan sulitnya mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal isi perut. Sebagai kaum inteletual yang memiliki kepekaan akan tanggung jawab sosial, dari mulut mahasiswalah, suara rakyat disampaikan kepada pemerintah. Namun tanggapan yang ditampilkan dengan aksi turun ke jalan semakin besar mendapatkan simpati kepada masyarakat luas. Aksi untuk menuntut sebuah perubahan yang fundamental dalam menatap Indonesia ke depan tidak lagi menjadi aksi bersih dari kerusuhan. Apalagi paradigma pemerintah yang semakin mencongolkan diri dalam mempertahankan staus quo, aparat polisilah yang dihadapkan dilapangan untuk menghadap gerakan aksi turun kejalan. Dengan dalih penyelamatan negara dengan mewujudkan stabilitas keamanan nasional, polisi dan militer semakin militan. Namun lebih parah lagi, hadirnya kepentingan dari berbagai golongan masuk dalam gerakan yang disebut reformasi 1998. Dengan hadirnya kepentiang politik dan ekonomi itu, dinamika aksi untuk menyalematkan bangsa Indonesia semakin kabur dan beragam. Bahkan tidak jarang di temui, di sinyalir terdapat pihak yang memprovokasi karena dilandasi untuk mendapatkan kepentingan politik dan ekonomi pasca gerakan reformasi. Pada saat itulah, bangsa Indonesia lagi-lagi merayakan kemiskinan dan kemelaratannya dengan mengibarkan semangat kerusuhan yang ditampilkan dengan merusak dan membakar fasilitas pemerintah dan pengusaha serta golongan minoritas, yang dianggap menjadi musuh bersama. Disilinah awal mula terjadinya konflik struktural yang kemudian menyeret ke konflik etnis.
Hadirnya militer bukan suatu yang baru dala kancah dinamika politik dan mobilitas sosial di Indonesia. Wajah militer yang hadir seakan sebagai malaikat penyelamat yang akrab disapa sebagai tindakan darurat untuk menyelamatkan keutuhan negara. Tampilnya militer termasuk polisi dalam mengawal peristiwa reformasi yang berlangsung di kota Solo seperti halnya dengan keajekan tampilnya peristiwa-peristiwa besar sebelumnya, yaitu dengan dalih gagalnya pemerintah sipil dalam mengantar rakyat Indonesia menjadi bangsa yang makmur, gemah ripah loh jinawe. Padahal mau di akui atau tidak, militer memiliki kepentingan kuat dalam hal mengambil posisi penting di panggung politik skala nasional. Dengan watak di atas itulah, kapanpun dan dimanapun militer dan polisi selalu sendiko dawuh untuk menjadi backing pemerintah saat rezimnya terancam. Gerakan reformasi di tingkat nasional, termasuk di kota Solo, militer dan polisi terlibat aktif dilapangan. Sehingga pemandangan mahasiswa bentrok dengan polisi bukan menjadi pemandangan tabu lagi. Namun tampilnya polisi dan militer pada gerakan reformasi di kota Solo seteah terjadinya kerusuhan. Sehingga keadaan ini menimbulkan pertanyaan besar, skenario politik apa yang di jalankan, apakah dengan menanti terjadi kerusuhan yang maha dahsyad itu, semakin memberikan legitimasi kepada militer untuk melakukan berbagai macam tindakan, termasuk penembakan kepada warga sipil dan mahasiswa.
Kerusakan bangunan pemerintahan dan milik pejabat tinggi negara
Jargon pribumi dan non-pribumi sebegai deferensiasi sosial pada kerusuhan di kota Solo 1998 teras kental, sekental madu. Masih hangat ingatan kita kerusuhan masa seakan terfokus pada bangunan yang menyimbolkan kemegahan etnis tiong Hoa di saat rakyat Indonesia mengalami busung lapar yang membara. Seakan pula kita masih enggan mempertanyakan komitmen kebangsaan pengusaha etnis Tiong Hoa kepada bangsa Indonesia. Ketika kita melihat dibakar dan diruntuhkannya bahkan dijarahnya isi toko yang dimilikinya. Pertanyaan di atas memang menyakitkan di saat pemerintah kita telah mengeluarkan PP no 23 tahun 2006 akan kewarganegaraan orang Tiong Hoa yang telah selesai dan di akui dengah penuh akan status warga negara Indonesia, tetapi mengapa stereotip pada masayarakat pribumi, khususnya di hadapan orang Jawa, yang tak ubahnya menaruh dendam kesumat terhadapnya. Padahal kalau melirik sejarah sebelumnya, bahwa hadirnya orang Tiong Hoa di Indonesia telah berhasil berinteraksi secara arif, bahkan amalgamasi bukan hal yang tabu lagi. Namun dengan hadirnya bangsa belanda menjadi penjajah Indonesia, ketrampilan dan kemampuan orang Tiong Hoa dimanfaatkan belanda dengan memposisikannya menjadi penarik pajak sebagai sumber pendapat kelonial Belanda. Tiong Hoa telah masuk dalam skenario politik dan ekonomi kolonial Belanda, namun orang Tiong Hoa terbukti senang menapatkan posisi tersebut, karena pas dengan keahlian dalam ekonominya. Namun dualisme sistem ekonomi yang dijalankan oleh kolnial belanda pada kelanjutannya melahirkan masalah yang panjang, dimana etnis Tiong Hoa di mata pribumi di pandang sebagai penjajah yang selalu bereka daya untuk menumpuk harta, mungkin ini skenario politik belanda dalam membangun image yang cantik pasca meninggalkan kawasan nusantara, dimana Tiong Hoa- lah yang menjadi sasaran amukan masa, lihat saja setiap ada kerusuhan, dapat dipastikan Tiong Hoa menjadi sasarannya. Namun tampaknya skenario politik ekonomi juga di jiplak pada saat pemerintahan orde baru duduk di singgasana. Lagi-lagi etnis ting Hoa diposisikan lebih dengan pengusaha pribumi. Dengan alasan pengusaha pribumi tidak dapat di percaya dan tidak dapat menjaga rahasia pemerintah, pengusaha Tiong Hoa – lah yang kemudian menjadi anak emas orde baru di bidang perdagangan. Lihat saja tender besar dari teknologi sampai sembako yaitu menjadi pemasok besar, orang Tiong Hoa – lah yang selalu tampil di depan. Sehingga wajar kalau ting hoa semakin hari semakin kaya karena dekat dengan penguasa yang siap melahirkan kebijakan eokonomi, dan orang Tiong Hoa lebih dulu melihat dan mengetahuinya. Memang orang Tioang Hoa seakan menjadi sapi perah orde baru, namun lai-lagi Tiong Hoa juga asyik menikmati hasil dari usaha tersebut. Sehingga pada saat rakyat mengalami kelaparan dan kehausan yang dahsyad, kelompok yang dikenal minoritas inilah yang menjadi sasaran kembali. Seakan kelompok ini pula menjadi tameng kegagalan dalam memerintah suatu rezim, dengan cara menggiring pemikiran masyarakat, bahwa kolompok itulah yang harus bertanggung jawab. Dan ini terbukti dengan tumpahnya kemarahan masa di Kota Solo pada tahun 1998, bangunan rumah dan pertokoan serta simbol-simbol yang berbau ke- Ting Hoa -an, dibabat habis dengan meruntuhkan dan membakarnya tanpa sisa. Termasuk jenis bangunan hotel, restoran besar, bisnis otomotif juga remuk dan porak poranda. Dari peristiwa kerusuhan di Solo 1998, solopos melaporkan, kerugian negara mencapai 457, 5 milyar lebih mulai dari kerugian akibat perusakan dan pembakaran plasa supermarket sampai pemukiman dan fasilitas publik lainnya.
Sebuah bangunan negara yang tidak dilandasi dengan bangunan budaya yang dibingkai dengan sistem yang kuat, maka jangan harap suatu negara itu memiliki kemerdekaan yang sebenarnya. Sebuah sistem yang kuat dapat dilihat dengan dihadirkannya suatu bangunan struktur yang memihak keadilan dan kemakmuran rakyat. Sehingga struktur apapun yang dilahirkan akan membawa perubahan pada bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, termasuk struktur sosial dan pemerintahan kita. Struktur merupakan tempat bergelimangnya kepentingan. Sehingga sudah barang tentu kalau seseorang yang duduk di struktural memiliki otoritas yang bermesraan dengan kepentingan.
Kepentingan tersembunyi yang dipaksakan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain telah menuai amarah, kerusuhan mei 1998 adalah salah satu contohnya. Kelompok posisi otoritas yang suka melanggengkan status quo memang selalu bertentangan pada kelompok subordinat, yaitu selalu berupaya mengadakan perubahan. Namun anehnya, kelompok tersebut memiliki kecenderungan memposisikan menjadi kelompok yang berkepentingan semu, mereka tidak akan menampilkan diri menjadi kelompok konflik. Sehingga yang terjadi adalah masuknya masyarakat sipil yang terjerat dalam kolong konflik yang dijadikan topeng untuk menapaki singgasana yang bergelimangan dengan kemewahan di atas keserbasulitan. sehingga terjadinya kekerasan, baik dalam bentuk kerusuhan, pembakaran dan hal lainnya, selalu dan selalu dicari kambing hitamnya, seperti wacana agama, budaya, etnis, bahasa, dan seni, yang lain tidak lain adalah mengadu rakyat sendiri untuk bertarung fisik dan saling menjauhkan diri dari kemitmen suatu perubahan yang bermakna.
Mei kelabu telah menewaskan lebih dari 500 ribu orang yang hangus terpanggang dalam gedung yang dibakar masa. Mayat mereka di makamkan secara masal. Di sela-sela kelabuan mei itu, terlihat suasana merarik mahasiswa dan aparat kerja bareng untuk membersihkan batu-batu yang berserakan, bahkan perisai yang digunakan untuk bentrok digunakan untuk mengangkat batu-batu tersebut. Atraksi api dan asap telah usai, api yang melalap bangunan, dan asap menyapu langit dapat dibangun kembali, namun pertanyaan besar adalah bagaimana meneguhkan kemitmen kebangsaan kita dalam mewujudkan akal sehat masyarakat untuk melahirkan sebuah kerangka besar dalam membangun bangsa Indonesia yang besar, adil, makmur dan sejahtera. Bukan memangkukan masalah besar dengan kekerasasan budaya yang mampu memanipulasi kenyataan sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar