Komitmen kebangsaan atau nasionalime merupakan hal terpenting keberadaannya pada setiap warga Indonesia dalam wewujudkan bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki multikultural terbesar di dunia (Yaqin, 2005:3), terbukti negara Indonesia memiliki sekitar 17.000 pulau besar dan kecil yang di dalamnya hidup lebih dari 300 suku yang menggunakan hampir 700 lebih bahasa yang berbeda (Fishman, 1972 dalam Rokhman, 2006:1). Menurut Hans Kuhn “nasionalisme” adalah suatu paham kesetiaan tertinggi individu yang diserahkan kepada negara kebangsaan (Kuhn, 1984 dalam Jayusman, 2000:40). Pada umumnya, setiap bangsa memiliki faktor objektif tersendiri, yang berbeda dengan bangsa lainnya, seperti kesamaan keturunan, bahasa, daerah asal, kesatuan politik, adat-istiadat, tradisi, maupun perasaan keagamaan. Bangsa Indonesia seharusnya bangga bahwa kokohnya persatuan dan kesatuan Indonesia dari berbagai suku bangsa yang diwujudkan dalam upaya membela tanah air yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Namun komitmen kebangsaan itu belum tuntas dengan hadirnya bangsa lain yang ada dan hidup di nusantara. Hal ini dikarenakan konsep kebangsaan yang dicetuskan para bapak bangsa secara hakiki menolak kehadiran bangsa lain yang menjajah wilayah dan masyarakat Nusantara. Kasus di atas dapat dilihat dengan hadirnya etnis Tionghua yang dipandang melakukan ekspansi ekonomi, sosial dan budaya di wilayah nusantara, terbukti dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghua menjadi sasaran kekerasan rasial baik dalam bentuk stigma sosial, penjarahan, sampai dengan pembunuhan dan pembantaian massal, puncaknya yaitu pada tragedi pembantaian etnis Tionghua di kota Solo pata tahun 1998. Hal senada juga dikatakan oleh Jusuf (2005:60) problem rasial dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat lima macam yaitu diskriminasi dalam sistem politik hukum, kebijakan diskriminatif, keberadaan lembaga pelestari rasialisme, stigmatisasi kepada warga negara, kekerasan rasial dan politik asimilasi., dan hal itu menimpa etnis Tionghua.
Pelbagi pendekatan untuk mengintrepretasikan konsep kebangsaan telah dilaksanakan. Model pembauran telah dilaksanakan untuk meminimalisir kekerasan rasial antaretnis, meliputi bidang politik (pembentukan partai sosialis Indonesia), amalgamasi (perkawinan silang Tionghua-pribumi), agama (islamisasi) dan kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai landasan hukum untuk mendapatkan hak-hak hidupnya. Tetapi kenyataannya model pendekatan di atas tidak jarang menciptakan permasalahan baru dan dipandang tidak menyelesaikan masalah utama. Walaupun demikian, pemerintah tetap berusaha bagaimana kerukunan atar etnis itu terwujud dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Puncak kebijakan itu adalah dikeluarkannya UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Status Kewarganegaraan Republik Indonesia. Substansi dari Undang-undang tersebut adalah resminya etnis Tionghua yang lahir di Indonesia dan tidak pernah mendapatkan status kewarganegaraan dari negara manapun, menjadi warga negara Indonesia. Sehingga hak-hak yang tidak diperoleh etnis Tionghua sebelumnya akan didapatkan.
Peran pemerintah sebagai fasilitator dalam menumbuh-kembangkan komitmen kebangsaan dengan mengeluarkan peraturan atau produk hukum bukanlah tanpa hambatan. Terbukti tindakan diskriminatif dan kekerasan terhadap etnis Tionghua terjadi seiring dengan kebijakan-kebijakan. Hal ini dikarenakan konsep kebangsaan yang diciptakan para bapak bangsa telah mendarah daging yang memandang bahwa bangsa lain adalah penjajah (Wahid, 2000:20). Selain itu, menurut Jayusman (2007;41) tumbuhnya nasionalisme Tionghua peranakan jauh dari konsep keutuhan bangsa Indonesia yaitu terjadi dengan mengembangkan nasionalismenya melalui agama, kepercayaan dan tradisi juga menjadi penghambat konsep komitmen kebangsaan.
Nasionalisme Tionghua peranakan bangkit dan berkembang di awal abad ke-20 di Jawa. Menurut Jayusman (2007;42). Sebagai wujud nasionalisme tersebut, di Jawa muncul tiga kekuatan politik, yaitu Sin Po, Chung Hua Hui dan Partai Tionghua Indonesia. Ketiga kekuatan itu mempunyai orientasi politik yang berbeda. Sin Po berorientasi ke Negeri Tionghua, Chung Hua Hui berkiblat ke Hindia Belanda dan Partai Tionghua Indonesia bersimpati dan bergabung dengan pergerakan nasional Indonesia. Meskipun ketiga organisasi politik itu orientasinya berbeda-beda, namun semuanya sepakat bahwa agama, kepercayaan dan tradisi Tionghua digunakan sebagai ikatan solidaritas di antara mereka. Apa yang dilakukan oleh orang-orang Tionghua perantauan, yaitu mengembangkan nasionalisme lewat agama, kepercayaan dan tradisi, dilakukan pula oleh bangsa-bangsa lain di Asia. India memanfaatkan agama Hindhu untuk memperkuat nasionalismenya. Jepang dengan Shinto-nya, Srilanka dengan Budha-nya, Filipina dengan Kristen-nya, Indonesia dengan Islam-nya.
Walaupun demikian, pendekatan pembauran dan produk kebijakan-kebijakan sangat penting kehadiranya dalam membangun komitmen kebangsaan. Namun di sisi lain juga perlu dilakukan revitalisasi nilai-nilai kebangsaan yang telah ada dalam lanskap pemikiran warga negara Indonesia seiring dengan kemajuan zaman dan posisi Indonesia dalam kancah global. Berdasarkan latar belakang di atas pertanyaannya kemudian adalah “bagaimana membangun komitmen kebangsaan pada nasionalisme Tionghua peranakan?”
Dalam melakukan revitalisasi nilai-nilai kebangsaan, pendidikan merupakan proses yang sangat tepat. Karena dalam ranah pendidikan, berbagai pemikiran dan permasalahan yang berhubungan dengan nilai-nilai kebangsaan selalu dikawal dan diuji kebenarannya baik dalam ranah ontologis maupun ranah aksiologisnya. Selain itu generasi muda Indonesia terlibat secara langsung dengan cara mengetahui, menganalisis, memahami dan mengaplikasikan tentang rasa kebangsaan untuk membangun Indonesia ke depan. Namun bagaimana model pengajaran tenaga pendidik yang mampu membangun komitmen kebangsaan warga negara Indonesia.
Penanaman nilai-nilai kebangsaan pada era orde baru dilakukan dengan melakukan doktrinasi nilai-nilai P4. Namun dalam era reformasi, nilai-nilai yang dibangun dalam butir-butir P4 terbukti memiliki kepentingan politik dari partai politik tertentu. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan P4 dipangkas habis. Dinamika tersebut bukanlah tanpa hambatan, bahkan disinyalir wacana kebangsaan yang ditanamkan pada kurikulum pendidikan tidak dimunculkan, padahal untuk membangun Indonesia kedepan, nilai-nilai kebangsaan sangat diperlukan.
Komitmen kebangsaan Tionghua peranakan merupakan kajian menarik. Hal ini terbukti tragedi diskriminasi dalam bentuk pembantaian dan pembakaran aset Tionghua peranakan terjadi pada tahun 1998 di kota Solo dan sampai sakarang peristiwa tersebut masih membekas dalam diri bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Wasino (2006;40) etnis Tionghua memiliki kecenderungan sebagai berikut; eksklusif dalam berbagai aspek, piawai dalam berdagang, memiliki pandangan bahwa kekayaan dunia adalah segalanya, enggan menginvestasikan kekayaannya untuk investasi sosial, dan menganggap derajatnya lebih tinggi seperti paham nenek moyang Tionghua yang beranggapan bahwa Tionghua merupakan bangsa yang berkebudayaan tertinggi, Sehingga dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghua menjadi sasaran kekerasan fisik. Dengan demikian, sangat penting membangun komitmen kebangsaan pada nasionalisme Tionghua peranakan pada kurikulum pendidikan pada bangsa yang multikultural ini.
Membangun komitmen kebangsaan pada nasionalisme Tionghua peranakan dengan kurikulum pendidikan yang dimaksud adalah menghadirkan keterlibatan etnis Tionghua dalam proses kemerdekaan Indonesia pada kurikulum pendidikan nasional. Dengan menghadirkan keterlibatan etnis Tionghua dalam proses kemerdekaan Indonesia pada kurikulum pendidikan nasional, warga negara Indonesia akan lebih memahami dan mengapresiasikan dari konsep komitmen kebangsaan yang dimiliki selama ini dalam untuk mencapai kemandirian bangsa di segala bidang. Selain itu generasi muda dari etnis Tionghua peranakan akan lebih tepat dalam memposisikan diri dalam mewujudkan Indonesia adalah tanah air mereka. Dengan demikian tercapailah kesatuan dan persatuan warga Indonesia yang utuh, seperti yang dicetuskan dalam kebijakan pemerintah tentang undang-undang kewarganegaraan Indonesia yaitu pada UU Nomor 12 tahun 2006.
Film dokumenter merupakan salah satu media pembelajaran di sekolah sebagai jembatan untuk membangun kemitmen kebangsaan Tionghua peranakan dalam rangka keterlibannya dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Hal ini dikarenakan film dokumenter merupakan alat yang mampu menggambarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu secara hidup (vivid) sebagaimana adanya (Raharjo, 2005:115). Hal senada juga ungkapkan oleh Sambar (2006:40) bahwa film dokumenter adalah kegiatan menyimpan peristiwa di belakang agar peristiwa dalam film itu tidak sebatas menjadi kenangan, tapi juga mengonstruksi kembali suatu semangat di balik peristiwa itu.
Namun untaian pemikiran di atas masih dalam tahap wacana dalam membangun kebangsaan Indonesia kedepan. Maka oleh dari itu perlu dilakukan proses pengoperan ide dan gagasan yang mendalam pada generasi bangsa. Apalagi wacana kebangsaan, implementasi dan pengembangannya merupakan aras semu yang tidak pernah habis untuk diperbincangan dari berbagai lintas disiplin ilmu dan cara pandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar