Sudah menjadi tradisi setiap tahun ajaran baru orang tua selalu sibuk memilih sekolah terbaik bagi anaknya. Masyarakat sendiri telah mengapresiasi adanya sekolah-sekolah favorit, sekolah unggulan di setiap daerahnya, terlebih di perkotaan. Mahal murahnya biaya bagi mereka tidak menjadi persoalan. Bahkan, orang tua rela merogoh sakunya, yang penting anaknya bisa sekolah di tempat terbaik dan bergengsi. Bersekolah di sekolah favorit, di samping terkait dengan prestasi seringkali berurusan pula dengan prestise orang tua. Bahkan menjelang ujian akhir sekolah, ujian nasional dan ujian masuk, banyak guru dan kepala sekolah mendapatkan permintaan bahkan bernada paksaan agar anaknya dapat lulus dan diterima di sekolah yang bersangkutan.
Lahirnya sekolah favorit dan bereputasi unggul disebabkan oleh beberapa faktor. Sekolah bereputasi unggul biasanya sejak semula sekolah didesain menjadi sekolah yang memiliki keunggulan. Unggul dalam kelengkapan fasilitasnya, kualifikasi tenaga kependidikannya, unggul dalam budaya sekolahnya dan sebagainya, sehingga bisa membangun citra, prestasi, dan prestise terhadap lulusannya. Ada juga sekolah bereputasi unggul yang didesain melalui proses perjalanan kesejarahan yang panjang. Tetapi ada pula sekolah yang memiliki predikat unggul karena memang didesain untuk menawarkan berbagai keunggulan kepada siswanya sehingga orang tua merasa tertarik untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Pada umumnya model sekolah yang sejak berdirinya menawarkan keunggulan adalah sekolah yang didirikan pihak swasta. Banyak sekolah yang dibuat dengan target menawarkan berbagai program unggulan. Mulai dari kurikulum hingga metode pembelajaran. Bahkan ada sekolah yang menawarkan full day school, boarding school dan sebagainya. Terobosan sekolah untuk menawarkan berbagai keunggulan bisa dari aspek akademik maupun nonakademik, termasuk peran media sosialisasi penting di dalamnya.
Agar unggul sekolah menyediakan macam-macam kegiatan, ada pelajaran piano, menari, komputer, pencak silat, arung jeram, mendaki gunung, dan sejumlah kegiatan ekstrakurikuler lainnya, ataupun aktivitas keagamaan yang dewasa ini dianggap sebagai jawaban terhadap krisis kehidupan yang jumud. Biasanya kegiatan seperti itulah yang menyebabkan biaya tak langsung (indirect cost) pendidikan menjadi mahal. Sekolah membuat program yang lain dari yang lain, tidak konvensional, sehingga menjadi daya tarik dan keunggulannya.
Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi. Namun di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Kompas, 29 April 2002).
Untuk mendapatkan peserta didik yang tergolong berbakat seperti yang disebutkan dalam definisi di atas, berikut disampaikan 14 ciri-ciri keberbakatan yang telah memiliki korelasi yang signifikan (Balitbang Depdikbud, 1986): (1) Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pemikirannya); (2) Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan; (3). Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berpikir logis dan kritis; (4). Mampu belajar/bekerja secara mandiri; (5). Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa); (6). Mempunyai tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya; (7). Cermat atau teliti dalam mengamati; (8). Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah; (9). Mempunyai minat luas; (10). Mempunyai daya imajinasi yang tinggi; (11). Belajar dengan mudah dan cepat; (12). Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat; (13). Mampu berkonsentrasi; dan (14). Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.
Hal senada juga dinyatakan oleh Seogoe (dalam Martinson, 1974) yang menunjukkan bahwa ciri-ciri tertentu dari siswa yang memiliki potensi kecedasan dan bakat istimewa dapat atau mungkin mengakibatkan timbulnya masalah-masalah tertentu, misalnya: (1). Kemampuan berpikir kritis dapat mengarah ke arah sikap meragukan (skeptis), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain; (2). Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-hal yang baru, bisa menyebabkan mereka tidak menyukai atau lekas bosan terhadap tugas-tugas rutin; (3). Perilaku yang ulet dan terarah pada tujuan, dapat menjurus ke keinginan untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya; (4). Kepekaan yang tinggi, dapat membuat mereka menjadi mudah tersinggung atau peka terhadap kritik; (5). Semangat, kesiagaan mental, dan inisiatifnya yang tinggi, dapat membuat kurang sabar dan kurang tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau jika kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung; (6). Dengan kemampuan dan minatnya yang beraneka ragam, mereka membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan mengembangkan minatnya; (7). Keinginan mereka untuk mandiri dalam belajar dan bekerja, serta kebutuhannya akan kebebasan, dapat menimbulkan konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan dari orang tua, sekolah, atau teman-temannya. Ia juga bisa merasa ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya; dan (8). Sikap acuh tak acuh dan malas, dapat timbul karena pengajaran yang diberikan di sekolah kurang mengundang tantangan baginya.
Namun dengan adanya sekolah unggulan yang menyebar di tiap-tiap daerah, ternyata membawa dampak tutupnya beberapa sekolah. Tahun 2000 saja terdapat empat sekolah swasta masing-masing tiga SLTP dan satu SMU mesti mengembalikan izin operasional. Pengembalian izin itu karena tiap tahun sekolah itu tak mendapatkan siswa. Tiga SLTP yang mengembalikan izin itu ada di Tabanan, Badung dan Jembrana. Satu SMU ada di Jembrana. Kemudian pada tahun 2001 ada empat sekolah yang gugur karena tidak mendapatkan siswa. Dua SLTP swasta itu ada di Buleleng dan dua SMU di Tabanan. Lebih parah lagi, pada 2002 ini ada sembilan sekolah swasta yang dikategorikan redup bahkan menuju ''mati''. Lima SLTP itu tersebar di Buleleng, Jembrana, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Sedangkan 4 SMU masing-masing ada di Buleleng, Gianyar, Klungkung dan Bangli. Dari 2.676 SD di Bali, 78 sekolah sudah melakukan regrouping yakni penggabungan menjadi satu halaman (http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2002/9/11/b6.htm).
Padahal secara umum siswa memiliki prestasi yang sama. Hal ini dapat dilihat menurut Hallahan dan James (1991;6-7) bahwa bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat. Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991) penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Secara statistik, dengan mengambil kurve normal, jumlah peserta didik yang termasuk unggul, jika asumsi 5 persen saja, total peserta didik unggul mulai SD sampai SLTA mencapai 40,5 juta orang, dengan pembagian 29,57 juta SD/MI, 6,74 juta SLTP, dan 4,41 juta SLTA (Murdiyat Suara Merdeka, 17 Maret 1997).
Di sisi lain keluhan juga muncul di lapangan secara bersamaan didukung oleh temuan studi terhadap 20 SMU Unggulan di Indonesia yang menunjukkan 21,75 % siswa SMU Unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata, sedangkan mereka yang tergolong anak memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa hanya 9,7 % (Reni, 1998). Pada tahun 1998/1999, dua sekolah swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah swasta di Jawa Barat melakukan ujicoba pelayanan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam bentuk program percepatan belajar (akselerasi), yang mendapat arahan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada tahun 2000 program dimaksud dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada Rakernas Depdiknas menjadi program pendidikan nasional. Pada kesempatan tersebut Mendiknas melalui Dirjen Dikdasmen menyampaikan Surat Keputusan (SK) Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar kepada 11 (sebelas) sekolah yakni 1 (satu) SD, 5 (lima) SLTP dan 5 (lima) SMU di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kemudian pada tahun pelajaran 2001/2002 diputuskan penetapan kebijakan pendiseminasian program percepatan belajar pada beberapa sekolah di beberapa propinsi di Indonesia.
Akibat lebih lanjut adalah pada siswa dapat menjadi anak yang berprestasi di bawah potensinya (underachiever) atau bahkan malah mungkin menjadi anak yang bermasalah (mengalami kesulitan belajar). Hal ini nyata dari hasil penelitian Herry, dkk., (1996) terhadap siswa SD di propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat, yang menunjukkan bahwa 22% dari siswa yang memiliki potensi kecerasan dan bakat istimewa beresiko tinggal kelas (nilai rata-rata rapornya kurang dari 6,00). Demikian pula hasil penelitian Herry, dkk., (1997) terhadap siswa SLTP di empat propinsi yang sama menunjukkan bahwa 20% dari siswa SLTP yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga beresiko tinggal kelas. Sementara itu, hasil penelitian Yaumil (1990) di Jakarta terhadap siswa SMA menunjukkan bahwa sekitar 30% dari siswa SMA yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berprestasi di bawah potensinya.
Keadaan di atas tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain. Beberapa penelitian di negara maju, seperti di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 25% dari siswa yang putus sekolah adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Utami Munandar, 1989). Selain itu, Marland (1971) juga mengemukakan bahwa lebih dari separuh anak yang memilki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berprestasi di bawah potensinya disebabkan karena tidak mendapat program pendidikan yang sesuai.
Pada negara-negara maju, terdapat berbagai jenis program pendidikan untuk siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Getls dan Dillon, dalam Hallahan dan Kaufman, 1982), antara lain: (1). Sekolah musim panas di negeri dengan empat musim, (2). Pendidikan dasar tidak berjenjang, (3). Diterima lebih awal di perguruan tinggi, (4). Pelajaran-pelajaran perguruan tinggi bagi siswa-siswa setingkat sekolah menengah, (5). Mata-mata pelajaran di sekolah menengah dan kreditnya diakui di perguruan tinggi, (6). Kelas-kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu yang ada dalam kurikulum, (7). Kelas-kelas khusus pada semua mata pelajaran yang ada dalam kurikulum, (8). Seminar-seminar hari Sabtu, (9). Pengelompokan berdasar kemampuan, (10). Pengayaan di kelas-kelas biasa, (11). Guru tamu, (12). Penambahan mata pelajaran, (13). Tugas-tugas kelompok dan tugas-tugas ekstrakurikuler, (14). Wisata karya, (15). Pelajaran-pelajaran khusus melalui televisi, (16). Program pelajaran biasa setengah hari, dan program pengayaan setengah hari lainnya, (17). Percepatan, (18). Sekolah-sekolah khusus, (19). Program konsultasi, (20). Bimbingan/tutorial, (21). Belajar mandiri, (22). Pertukaran pelajar, (23). Peningkatan yang luwes (misalnya anak SD mengambil pelajaran di SMP, dsb.), (24). Penempatan siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, (25). Program pemberian penghargaan, (26). Program kegiatan yang ditawarkan lembaga non-sekolah, seperti museum, perpustakaan, dan (27). Kurikulum khusus.
Kalau merujuk pada masyarakat berkembang, dewasa ini terdapat kecenderungan bahwa kemajuannya masyarakat ke arah industri. Sebagian besar orang tua siswa adalah bekerja, sehingga perhatian dengan anaknya tidak begitu diutamakan. Dengan latar belakang tersebut munculah konsep sekolah unggulan atau sekolah favorit. Berbagai kurikulum ditawarkan oleh sekolah untuk mencukupi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Mulai dari kurikulum nasional, muatan materi internasional, sampai kurikulum berbasis keagamaan dihadirkan sebagai tawaran untuk menjadikan anaknya lebih unggul.
Namun permasalahan umum yang ditemui setiap lembaga pendidikan saat ini adalah sekolah belum mampu menawarkan kepada publik akan keunggulan sistem pendidikan yang diberlakukan dan diraihnya. Berbagai inovasi pendidikan untuk meningkatkan keunggulan output sekolahnya se-akan tenggelam begitu saja, dan bahkan ditenggelamkan oleh sekolah-sekolah yang sebenarnya tidak berkualitas. Sekolah-sekolah yang sedang berbenah diri hendaknya melakukan inovasi untuk menawarkan kepada publik akan eksistensinya di dunia pendidikan. Sehingga wacana akan peminggiran sekolah dan terjadi krisisnya daya minat siswa untuk masuk sekolah tidak terjadi.
Untuk itu hendaknya sekolah menyuguhkan media yang mampu menghadirkan realita dari kualitas sekolahnya. Media yang mampu menghadirkan realitas yang sebenarnya inilah yang akan berfungsi mempengaruhi publik, pada umumnya jenis media elektronik. Salah satu jenis media elektronik berbasis multimedia adalah VCD Film Dokumeter. Jenis media ini memiliki ciri khas yaitu unggul dalam menyampaikan pesan, memuat data visual dan narasi, dan mudah dioperasikan.